Kamis, 27 November 2008

Indonesia: Sebuah Budaya Kekerasan?*
Oleh Elizabeth Fuller Collins**

Runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto setelah berkuasa selama 33 tahun ternyata diiringi dengan gelombang kekerasan terhadap etnis minoritas, wanita, dan pihak lemah lain, sehingga membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa negeri ini mengalami kekacauan berdarah setiap melewati proses transisi. Salah satu yang dicurigai terlibat dalam kekerasan ini adalah Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus waktu itu. Meskipun belakangan terpaksa mengundurkan diri lantaran keterlibatannya dalam penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan beberapa aktivis demokrasipada awal 1998, Prabowo adalah salah satu pihak di mana orang ingin mendapatkan penjelasan kekerasan Mei itu. Pada sebuah simposium yang diselenggarakan pada April 2001, Prabowo muncul dalam sebuah panel bertajuk “Separatisme di Indonesia,” di mana dia memberikan pandangnnya, dengan mengatakan bahwa:
Budaya Indonesia pada dasarnya sarat dengan kekerasan, dan militer adalah cerminan masyarakat belaka. Contohnya bisa dilihat di Maluku…. Sebenarnya tidak sepenuhnya tepat saya mengemukakan ini, terutama sebagai orang Indonesia yang berbicara di depan banyak orang asing, tetapi, suka atau tidak suka, secara umum budaya di Indonesia adalah budaya kekerasan antara suku dan kelompok etnis. Masyarakat Indonesia bisa dengan cepat menggunakan kekerasan. Kata “amok” dalam bahsa Inggris berasal dari bahas persatuan negara kepulauan ini. Ini adalah sesuatu yang kita sadari, sesuatu yang tidak kita suka, dan sesuatu yang kita ingin perhatikan, kendalikan, dan kelola. Tetapi kekerasan memang ada: perkelahian antarkeluarga, antardesa, antarsuku, antarkelompok etnis, dan ujungnya antaragama.
[1]

Apakah penilaian Prabowo ini seusai dengan kenyataan? Apakah Indonesia memang benar-benar berbudaya kekerasan, atau apakah argumen semacam yang dilontarkan oleh Prabowo dan sekelompok elit diajukan untuk kepentingan-kepentingan lain? Dalam artikel ini, saya menyatakan bahwa yang terakhir itulah yang terjadi. Argumen semacam ini bermanfaat bagi para elit, yang membuat mereka memobilisasi rakyat dengan kampanye kembalinya keamanan dan stabilitas sebagai cara melindungi kepentingan mereka terhadap tuntutan-tuntukan yang meminta hak-hak atas tanah, upah yang lebih tinggi, dan reformasi politik. Rezim Suharto telah melembagakan teror negara dengan mencap oposisi politik sebagai “komunis,” menggunakan kekuatan militer dan paramiliter untuk melawan pemrotes dan kaum separatis jika perlu. Dalam era pos-Suharto, kegagalan para pemimpin untuk menangani ketakadilan ekonomi, berlanjutnya penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi para pemrotes, pengerahan kekuatan paramiliter oleh elit, dan kegagalan penegakan hukum membuat rakyat lebih suka melakukan tindakan sendiri. Gabungan keadaan inilah yang menimbulkan budaya kekerasan.
Bagian pertama artikel ini menunjukkan bahwa di bawah Orde baru, tatanan dan stabilitas semu menyembuyikan potensi konflik politik dan ekonomi yang siap meledak. Kekerasan yang disponsori oleh negara telah menjadi endemik. Bagian kedua menganalisis beberapa kekersan yang meledak di Sumatra Selatan antara 1998 dan 2000 untuk secara lebih cermat mengidentifikasi akar dan sifat dari kekerasan massa (“mob violence”). Pada bagian ketiga, saya mengeksplor kesejajaran pola konflik di Indonesia dewasa ini dengan keadaan sebelum terjadinya pembantaian para komunis, atau yang dituduh sebagai komunis, setelah persitiwa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (Gestapu, atau G-30-S). Saya menjelaskan bahwa ancaman terbesar kekerasan di Indonesia muncul dari adanya kelompok pemuda paramiliter yang menjalin hubungan dengan militer, partai politik, dan organisasi-organisasi Islam , yang memungkinkan para elit politik dan ekonomi memanfaatkan kekerasan melawan penentangnya, serta menghindari tanggung jawab.

Kekerasan pada masa Orde Baru

Pemerintah Orde Baru memandang dirinya sebagai pemelihara tatanan dan keamanan, melawan imoralitas dan anarki. Film yang dibuat pada tahun 1984 tentang kudeta 1965, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipertontonkan bagi seluruh anak sekolah di Indonesia, menunjukkan hal ini. Foulcher berkomentar bahwa film ini

membangkitkan simpati penonton bukan dengan cara penonjolan kepentingan nasional tetapi lebih banyak karena penekanan berulang-ulang terhadap penderitaan keluarga dan anak-anak, akibat tindakan tak-manusiawi dan tak-Indonesia dari pendukung PKI. Penggambaran mendetail para jenderal terbunuh sebagai suami dan ayah yang penyayang, terutama kematian Ade Irma Nasution yang baru berusia lima tahun, mernggambarkan upaya film ini untuk memanfaatka nila-nilai universal untuk kepentingan politik semata.
[2]

Goenawan Mohammad, wartawan senior dan pendiri majalah Tempo, mengutip sebuah survey yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang digambarkan dalam film tersebut adalah benar-benar terjadi.
[3]
Sepanjang kekuasaan Orde Baru, negara Indonesia digambarkan sebagai keluarga dengan ayah yang lembut, Pak Harto, yang bertindak mengatanamakan semua rakyat. Tetapi, rezim ini sesungguhnya ditandai dengan kekerasan-kekerasan massa: kerusuhan anti-Jepang yang dikenal sebagai Malari (Malapetaka Januari) pada tahun 1974, kekersaan oleh militer pada protes yang dilakukan oleh orang Islam di Tanjung Priok pada 1984, kerusuhan buruh di Medan pada 1994, dan kerusuhan di Jakarta menyusul pernyerbuan kantor pusat PDI pada Juli 1996. Setiap kejadian tersebut diawali dengan protes terhadap kebijakan Orde Baru, yang diakhiri dengan turun tangannya militer untuk menumpas protes tersebut. Dalam kasus Tanjung Priok dan penyerangan kantor PDI, kekerasan dimulai oleh tindakan pemerintah atau kelompok paramiliter yang dekat dengan pemerintah. Malari dan kerusuhan buruh di Medan akan dibahas nanti.
Akar kekerasan pada masa Orde Baru dapat diidentifikasi dengan empat faktor. Pertama, kegagalan institusi politik dan hukum. Kedua, kebijakan pembangunan yang melarang buruh untuk berorganisasi, serta berpindahnya kontrol atas tanah (dan sumber daya alam lain) ke tangan pemerintah pusat dan elit yang dekat dengan rezim Orde Baru. Ketiga, tradisi kelompok pemuda paramiliter dan keberadaan sejumlah besar pemuda pengagguran dengan kesempatan kerja yang kecil sehingga memungkinkan direkrut oleh kekuatan paramiliter. Dan keempat adalah bagaimana kekuatan paramiliter ini digunakan oleh Orde Baru untuk memicu kekerasan sehingga membenarkan penumpasan protes-protes serta dipakai oleh elite dalam militer serta pemerintah untuk menyingkirkan atau mendiskreditkan saingannya. Keempat faktor ini akan dibahas berikut ini.


Kegagalan Institusi dan Sistem

Institusi politik dan hukum Orde baru tidak menyediakan saluran untuk menyampaikan keluhan atau keberatan terhadap kebijakan yang dirasakan tidak adil. Menurut Lindsey, “Pada akhir 1980-an, pengadilan di Indonesia adalah skandal nasional. Pengadilan telah ditunggangi oleh korupsi, mungkin merupakan institusi terkorup di Indonesia. Adalah tidak mungkin membawa sebuah kasus ke pengadilan tanpa menyuap. Dan juga tidak mungkin menang dalam suatu kasus tanpa menyuap.”
[4]
Hilangnya rasa hormat dan kepercayaan terhadap keadilan juga disebabkan oleh korupsi di kalangan polisi. Reformasi pada awal 80-an yang mengatur bahwa satuan-satuan pengamanan independen di bawah polisi Indonsia malah membuat, seperti dijelaskan oleh Barker, “keterlibatan makin jauh polisi dalam mencari uang dengan dalih pengamanan ketimbang sebelumnya tatkala hal itu dikendalikan oleh kelompok gang, ketua RT/RW, atau tentara.”[5] Akibatnya, sebuah negara kriminal yang kompleks pun terbentuk. Menurut Lindsey, pejabat-pejabat pemerintah Orde baru “melindungi preman jalanan melalui sistem deking atau beking. Struktur gang kriminal menghubungkan elite politik dan bisnis kepada militer lewat para preman. .. Untuk mentransformasi kekuasaan yang diperolehnya dengan kekerasan menjadi uang, Order Baru secara sadar menciptakan negara ‘rahasia’ untuk menjamin akses para elite kepada sumber-sumber ekonomi ilegal dan ekstralegal.”[6] Seiring kejatuhan Order Baru, negara kehilangan kendali atas kriminal terorganisir, “menghasilkan pertarungan sengit atas daerah kekuasaan dan upaya untuk mencari sumber pendapatan baru,” serta reaksi keras dan tumbuhnya “kewaspadaan anti-preman.”
Barangkali tindakan kekerasan yang paling mengherankan di Indonesia dewasa ini adalah tatkala massa mengambil tindakan sendiri terhadap orang yang disangka melakukan tindakan kriminal. Setelah kejatuhan Suharto, polisi dipisahkan dari ABRI, dan tindakan kekerasan keroyokan ini menjadi sering terhadi. Sebagai contoh, kamar mayat R.S. Cipto Mangunkusumo di Jakarta melaporkan adanya 100 korban keroyokan massa ini—atau lebih dari satu korban setiap dua hari—dalam enam bulan pertama tahun 2000. Sebagian besar tersangka kriminal itu dipukuli sampai meninggal, dan banyak juga yang disiram bahan bakar dan kemudian dibakar.
[7]
Pada tahun 1990-an, legitimasi Order Baru sangat merosot dan aksi kekerasan melawan pemerintah lokal dan terhadap kelompok yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah menjadi merebak. Contohnya, lebih dari 12 bulan dari Juli 1995 sampai kekerasaan di kantor PDI pada Juli 1996, insiden-insiden berikut ini terjadi. Di Jember, Jawa Timur, petani tembakau membakar gudang, sepeda motor, toko-toko dan rumah memprotes keputusan pengalihan kepemilikan dua ribu hektar tanah milik pemerintah—yang saat itu digarap oleh petani-petani tersebut—menjadi perkebunan milik negara (30 Juli-2 Agustus 1995). Di Jambi, korban bencana alam gempa bumi marah karena kurangnya bantuan, dan gelombang penjarahan yang menyusulnya mengakibatkan dua tewasnya tentara berpakaian sipil (13 Oktober). Di Porsea, Sumatra Utara, pemrotes membakar 100 rumah, sebuah stasiun radio, dan kendaraan-kendaraan milik pabrik kertas Indorayon Utama setelah merebaknya rumor adanya kebocoran gas beracun (3-4 November). Di Pasuruan, Jaw Timur, para petani melancarkan protes selama lima hari terhadap perusahaan Korea produsen monosodium glutamat karena mencemari tambak udang mereka. Mobil-mobil dan rumah dibakar, menimbulkan kerusakan 3 juta dolar (15-20 November). Di Tangerang, pinggiran Jakarta, pengunjuk rasa menghancurkan pabrik karbon karena mencemari lingkungan (21 November). Di Irian jaya, penduduk desa bersenjata batu menyerang Freeport Corporation karena mobil seorang karyawannya berkebangsaan Belanda menabrak seorang penduduk desa hingga meninggal. Penduduk setempat juga marah karena pelanggaran HAM yang sedang disidangkan di Pengadilan Militer Jayapura (7-10 Maret). Pemanfaatan kekuasaan oleh pihak keamanan juga merupakan sumber kekerasan pada masa itu. Di Medan, Smatera Utara, prajurit Batalion Kavaleri marah karena salah satunya terbunuh oleh anggota gang melukai 12 orang dan merusak 20 rumah serta 23 mobil (28 Februari). Akhirnya, di Jayapura, Irian Jaya, kekerasan meledak tatkala pihak berwajib menolak permintaan ijin penyelenggaraan upacara mengenang Thomas Wainggai, tahanan politik yang meninggal di dalam penjara di Jakarta (18 Maret).[8]


Masalah-Masalah Kebijakan Pembangunan

Penindasan terhadap protes buruh juga menyebabkan dendam membara terhadap pemerintah atau pemilik pabrik. Pada tahun 1991, tenaga kerja Indonesia berjumlah 74 juta orang. Upah minimum rata-rata adalah US$1.145, salah satu yang terendah di Asia Tengara, dan para buruh dilarang memiliki organisasi buruh selain yang direstui pemerintah. Pada tahun 1991, Saut Aritonang dan aktivis HAM H.J.C. Princen mendirikan serikat pekerja Setiakawan. Tetapi Saut ditangkap dan Setiakawan bubar pada 1992. Pada tahun yang sama Muchtar Pakpahan mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) di Medan, Sumatera Utara. Tetapi pemerintah menolak mengakui SBSI, dan pejabat pemerintah dengan bantuan militer mengintimidasi dan meneror para pendukung SBSI.
Pada 1994, kasus Marsinah, aktivis pekerja berusia 25 tahun yang disiksa dan dibiarkan meninggal kehabisan darah setelah dia dan kawan-kawannya menuntut kenaikan upah, membuat perhatian internasional terpusat pada penindasan Orde Baru terhadap pekerja. Pada tahun yang sama, terdapat 31 protes pekerja di Medan karena dilanggarnya peraturan upah minimum, penembakan terhadap pemrotes menyusul pemogokan di pabrik karet, serta kematian misterius salah satu dari mereka. Gelombang protes ini memuncak pada bulan Aprilk karena tunjangan Hari Raya yang tidak dibayarkan. Demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan dan toko-toko yang dimiliki oleh Tonghoa-Indonesia dijarah, dan salah satu pemilik pabrik dikeroyok sampai meninggal. Pakpahan dari SBSI menjelaskan bahwa Tonghoa-Indonesia menjadi target karena “adalah fakta bahwa orang-orang Cina berkolusi dengan ABRI untuk melindungi kepentingan mereka. Jika pekerja menuntut satu juta rupiah, mereka lebih suka memberi 1,5 juta kepada militer.”
[9] Hasilnya, para pekerja di Medan dibayar upah minimumnya, dan lembur dihentikan, mengindikasikan bahwa protes mereka berhasil. Tetapi, tentara berpakian sipil ditempatkan di pabrik-pabrik, dan Pakpahan didakwa sebagai pemicu kerusuhan. Dia dihukum 9 tahun penjara; tetapi karena tekanan internasional dia dibebaskan setelah menjalani hukuman 9 bulan.
Dilatarbelakangi pengadilan terhadap Pakpahan, menipulasi pemerintah untuk menyingkirkan Megawati Sukarnoputri dari PDI karena berpotensi sebagai kandidat oposisi, dan pembredelan empat majalah yang sering mengkritik pemerintah, sekelompok aktivis mahasiswa mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1994. PRD mengambil sikap lebih militan dan konfrontasional dalam mengorganisasi buruh supaya kekerasan yang dilakukan pemerinta lebih nampak. Taktik mereka yang lebih agresif (tetapi non-kekerasan) dengan mengadakan arak-arakan protes dan demonstrasi dibalas dengan pembubaran semua organisasi buruh dan serangan terhadap para pengunjuk rasa oleh pihak keamanan. Lembaga Bantuan Hukum mencatat lebih dari seratus kasus di mana militer ikut campur dalam sengketa pekerja pada tahun 1995.
[10]
Konflik lebih lanjut merebak pada masa Orde Baru karena peralihan besar-besaran kendali atas tanah dari pemilik tanah kecil-kecil kepada pemerintah pusat dan elite yang punya hubungan dekat dengan rezim. LBH, yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada 1971 untuk melayani bantuan hukum bagi kaum miskin, mewakili kaum miskin seperti di Simprug dan Lubang Buaya. Pada kasus Simprug, penghuni kawasan kumuh dipaksa pindah dari daerah di Jakarta Sekatan itu karena akan dibangunnya perumahan mewah di situ. Sedangkan kasus Lubang Buaya adalah kasus di mana tanah diambil dari kaum miskin untuk proyek Taman Mini yang dipelopori oleh Ibu Tien. Tetapi, mengandalkan pengadilan ternyata tidaklah efektif. Kasus yang paling terkenal dimana LBH terlibat adalah kasus Waduk Kedungombo. Insiden ini menarik perhatian internasional karena melibatkan perngambilan tanah dari pemilik untuk pembangunan waduk dengan biaya World Bank. Pengacara-pengacara LBH berkerja sama dengan aktivis mahasiswa, LSM, dan pemimpin agama untuk mempertahankan hak-hak penduduk yang dipindahkan karena proyek ini. Pada tahun 1994 Mahkamah Agung menyatakan bahwa penduduk tersebut harus mendapatkan ganti rugi, tetapi dengan tekanan pemerintah, hakim yang baru membatalkan keputusan itu.
Di luar Jawa, kebijakan yang memberikan konsensi atas hutan bagi perusahaan besar yang bergerak di bidang perkayuan, pulp dan produsen kertas, perkebunan minyak sawit, dan industri tambak udang menyebabkan konflik etnis antara penduduk lokal dan pendatang. Pada masa Orde Baru, militer bekerja sama dengan perusahaan Sino-Indonesia dan kroni Suharto seperti Bob Hasan memperoleh konsensi atas hutan untuk produksi kayu. Protes penduduk setempat gampang ditumpas dan hanya mendapat perhatian kecil dari media. Pada pertengahan 1990-an, penyelenggara di tingkat nasional mulai mengumpulkan pemimpin-pemimpin lokal. Konsorsium Pembaruan Agraria dibentuk pada 1995, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara didirikan pada 1999. Tetapi, organisasi ini belumlah efektif menekan pemerintah dalam hal reformasi pertanahan serta hak-hak penduduk asli tanpa dokumen klaim tehadap hutan.

Tidak ada komentar: